RUANG, SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEBAGAI PEMBATAS DAFTAR PERMINTAAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PRODUK PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH DI ERA OTONOMI (Studi Kasus Penyusunan RTRW Kabupaten Kulonprogo)


RUANG, SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEBAGAI PEMBATAS DAFTAR PERMINTAAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PRODUK PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH DI ERA OTONOMI
(Studi Kasus Penyusunan RTRW Kabupaten Kulonprogo)

Jamilla Kautsary

Era otomomi banyak membawa perubahan terhadap produk penataan ruang. Tingginya motifasi untuk meningkatkan pendapatan, telah memunculkan keragaman permintaan daerah untuk memunculkan berbagai program pembangunan. Permintaan ini mereka anggap sebagai bagian dari upaya meningkatkan pendapatan dan mempercepat pembangunan. Sangat disayangkan permintaan yang muncul kadang bukan merupakan kebutuhan, dan ini tidak hanya berdampak pada pemborosan tetapi juga keselamatan. Dari pengalaman empiris dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulon Progo, mengajak tim teknis duduk bersama dalam proses penyusunan tata ruang merupakan metode yang efektif, yang dapat mengurangi besarnya jumlah permintaan tersebut. Pelibatan ini tidak sebatas pada FGD tetapi juga disertai dengan proses capacity building. Melalui metode ini setiddaknya mereka akan mengerti hal-hal apa saja yang menjadi pembatas, mengana tidak bisa dikembangkan maupun hal mana yang bisa dikembangkan, dengan demikian daftar permintaan bisa dikurangi dan tata ruang akan sesuai dengan kondisi local (limitasi ruang, sumber daya dan lingkungan)
Kata kunci: ruang, sumbedaya alam, lingkungan dan perencanaan wilayah

SPACE, NATURAL RESOURCES AND ENVIRONMENT AS LOCAL GOVERNMENT’S LIST LIMITATION OF REGIONAL PLANNING PRODUCT IN AUTONOMY ERA.

Autonomy Era has brought changed for planning product. High motivations to increase local benefit have appeared some government’s list to produce many of development programs. This happened because they think that many list of program will make more faster development process in their region. Unfortunately those some of that list are not real need, and those will bring some impact both of unnecessary programs and disaster/tragedy. From the practice on regional planning process that we ever done in Kulonprogo, we can eliminate that unnecessary list by local government participation. This participation not only limited in FGD but also followed with officer capacity building. By these methods we can reduce unnecessary programs list that local government proposed and we can product regional planning product suitable with local condition (space, natural resources and environment)

Key word: Space, Resources, Environment and Regional Planning

I. Pendahuluan
Diberlakukan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberi legitimasi dapa pemerintah untuk menyerahkan kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan ruang ke daerah. Penyerahan ini tentu membawa konsekuensi dan salah satunya adalah adanya kemungkinan banyaknya Kabupaten/Kota yang lebih memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/Kota lainnya demi sekedar mengejar targetnya dalam lingkup “kacamata” masing-masing. Contoh yang bagus untuk dikemukakan disini adalah adanya keinginan dari Kabupaten/Kota yang bertetangga tetapi ingin membangun pelabuhan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan kepentingan wilayah yang lebih luas (Erna Witoelar, 2001).
Pada era otonomi juga menuntut proses penataan ruang harus melalui prinsip pelibatan masyarakat. Pendekatan ini menurut FAO (1989) menafsirkan akan adanya kontribusi sukarela dari masyarakat dan aparat kepada proyek, meningkatkan kemauan untuk menerima dan kemampuan menanggapi proyek. Pendekatan ini harus dimulai dengan orang yang paling mengerti tentang sistem kehidupan (aparat daerah dan masyarakat). Pendekatan ini juga harus dimulai dengan menilai dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka dan memberikan sarana yang diperlukan (bantek) supaya aparatur didaerah dapat mengembangkan diri, membangun diri serta menata lingkungannya sendiri (Mikkelsen,1999).
Berkaitan dengan itu maka sudah saatnya pendekatan bottom-up dilaksanakan dengan sebenar-benarnya, yaitu yang tidak hanya menampung aspirasi masyarakat saja, tetapi suatu pendekatan yang secara sungguh-sungguh mengedepankan atau menjadikan masyarakat (termasuk mitra stakeholder lain) sebagai penggerak (community driven planning). Masyarakat dalam pendekatan, akan menjadi stakeholder utama (sebagai subyek) yang bertindak dan Pemerintah akan menjadi fasilitator(Erna Witoelar, 2001).
Prinsip ini di atas memang sangat sesuai dengan paradigma baru penataan ruang yang lebih mengarah pada pemberian peran masyarakat setempat dengan selalu mempertahankan kebhinekaan socio-culture serta menjunjung kearifan lokal, akan tetapi kenyataannya penerapan pendekatan ini tidak mudah dilakukan. Pengalaman empiris dalam proses Penataan Ruang Kabupaten Kulon Progo pendekatan ini memunculkan adanya berbagai permasalahan dan permintaan yang irasional yang tidak diimbangi dengan adanya pemahaman kondisi ruang, sumberdaya alam dan lingkungan yang ada. Hal ini mengingat kapasitas masyarakat kita yang kurang memadai dan pemahaman mereka tentang penataan ruang yang masih rendah. Dari kondisi tersebut jelas bahwa kita harus bekerja bersama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan pemerintah dalam mengelola sumber daya yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakat sendiri.
Pendekatan di atas tentu juga harus diimbangi dengan upaya peningkatan kapasitas masyarakat. Upaya ini tidak hanya tertuju pada masyarakat tapi juga aparat Pemda setempat. Upaya peningkatan kapasitas ini memberikan peluang untuk menambah pengetahuan mereka tidak hanya tentang proses perencanaan, metode dan analisis, tapi juga tentang sumber daya lokal sebagai landasan berpijak dalam perencanaan. Ini tentu akan mengkait pada sumber daya apa yang bisa dioptimumkan dan mana yang menjadi faktor pembatas. Pendekatan peranserta yang disertai peningkatan kemampuan dan pengetahuan tentang konsisi sumber daya alam ini setidaknya dapat meredam dan memperpendek daftar daftar permintaan dan mengarahkan pada kesepakatan untuk memunculkan daftar kebutuhan.

II. Hasil dan Pembahasan
2.1. Kondisi Fisik Alam dan Daya Dukung Kab. Kulonprogo:
Kabupaten Kulon Progo dengan Ibukota Wates memiliki luas wilayah 58.627,50 ha (586,28 km2) terdiri dari 12 kecamatan 88 desa dan 930 dukuh. Hamparan wilayah menurut ketinggian tanahnya adalah 17,58 % berada pada ketinggian <7 m diatas permukaan laut (dpal), 15,20 % berada pada ketinggian 8 – 25 m dpal, 22,84 % berada pada ketinggian 26 – 100 m dpal , 330 % berada pada ketinggian 101 – 500 m dpal dan 11,37 % berada pada ketinggian >500 m dpal.

Gambar1. Posisi Kabupaten Kulon Progo dan Jalur Gempa Merusak Di Jawa Tengah dan DIY
Sejak Tahun 1840 (Sumber: Wikimapia,2008)

Kondisi di atas, tentu akan menyebabkan munculnya problematik pada upaya pengembangan, selain adanya potensi untuk kemungkinan pengembangan seperti :

Permasalahan

  • Kawasan pesisir selatan yang rawan bencana tsunami dan gempa bumi.
  • Kawasan perbukitan yang rawan kekeringan, longsor dan erosi di bagian utara (Girimulyo, Kokap, Samigaluh, dan Kalibawang) dan banjir di dataran Progo bagian selatan (Temon, Wates, Galur, Panjatan, Sebagian Lendah).
  • Kawasan gumuh pasir yang luas dibagian selatan, yang memiliki limitasi pemanfaatan yang cukup besar.
  • Adanya berapa wilayah yang terisolasi akibat kendala fisik.
  1. Potensi
  • Ada kemungkinan pengembangan aktivitas yang lebih beragam, sesuai dengan karakteristik geografi wilayah, baik terkait dengan penentuan kawasan lindung maupun budi daya baik untuk pertanian maupun pengembangan wisata alam.
  • Adanya dataran aluvial Progo yang subur yang memungkinkan untuk pengembangan budi daya pertanian.
  • Adanya potensi pertambangan dan bahan galian.
Gambar 3. Peta Kawasan Lindung dan Budidaya (Sumber: hasil analisis, 2008)

Tabel I

Karakteristik Lahan dan Persebarannya

Lereng 0-3% >3-25% >25-40% >40%
Kelas Lereng (S1) (S2-S3) (N1) (N2)
Luas (%) 23.515 Ha (40,11%) 10.963 Ha (18,70%) 13.170 Ha (22,46%) 10.479 Ha (18,73%)
Fungsi yg bs dikembang-kan PertanianPerikanan

Permukiman

Industri Marine

PeternakanPermukiman

Industri

PerkebunanKehutanan

Pertambangan

Pariwisata

Konservasi
SebaranLokasi Temon. Wates, Panjatan, Galur, Lendah Lendah, SentoloPengasih, Girimulyo

Kalibawang

Pengasih, KokapNanggulan

Kalibawang

Samigaluh

Kokap, NanggulanSamigaluh, Kalibawang

Pengasih

Sumber: Hasil Perhitungan, 2008

2.2. Daftar Issue – issue Strategis dan Daftar Permintaan

Seperti diuraiakan pada latar belakang, kurangnya pemahaman masyarakat dan stakeholder dalam proses penataan ruang serta limitasi sember daya (ruang, SDA dan lingkungan) telah banyak memuncukkan daftar permintaan dengan alasan memacu pertumbuhan daerah dalam peningkatan PAD. Pada kasus penyusunan RTRW Kab. Kulon Progo daftar permintaan memamang dapat dikatakan sangat fantastik. Beberapa permintaan ini sudah tertuang dalam rencana pemanfaatan ruang pesisi seperti:

  • Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS)
  • Dermaga “Tanjung Adikarto” = ± 150 GT.
  • Bandara.
  • Lantamal.
  • Kawasan Industri Kelautan: Pantai Glagah sampai dengan Demen dan Kedung.
  • Pabrik Baja.
  • Wisata Bahari: Pantai Glagah dan Congot.
  • Kawasan Industri dan Dry Port di Kecamatan Sentolo.
  • Pengembangan Kawasan Menoreh.
  • Kawasan Agropolitan di Bagian Utara dan selatan (Kokap).
  • Terminal Tipe A di Bendungan.
  • Jalan Arteri di Toyan, Cangakan, Kenteng.
  • Rest Area.
  • Kawasan Perdagangan.

Permintaan tambahan:

  1. Jalan arteri yang melintasi tengah pegunungan Menoreh
  2. Menambah jumlah penduduk dari + 400.000 jiwa menjadi 500.000 jiwa degan alasan untuk menambah jumlah jatah kursi di DPR;

2.3. Permasalahan Penyusunan RTRW

Permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan RTRW Kab. Kulon Progo, dalam kaitanya dengan penerapan metode partisipaf mulai dari tahap awal penyusunan laporan pendahuluan, fakta-analisa dan rencana diantaranya:

  1. Kapasitas pengetahuan masyarakat dan aparat masih rendah;
  2. Aparatur pemereintah yang terlibat dalam penyusunan (Tim Teknis) kurang mengerti kondisi lokal, karena kebanyakan mereka dari orang luar Kabupaten Kulonprogo)
  3. Belum mengenal UUPR 26/2007 dan peraturan yang lainnya
  4. Data tidak memadai dan sulit diapat.

Dalam kesempatan diskusi Teknis Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten & Kota Dalam Rangka Kegiatan Advokasi Penyelenggaraan Penataan Ruang Di Wilayah Jawa-Bali, 20 Agustus 2008):

Kelompok I: RTRW, dengan anggota: Bappeda Gunung Kidul, Bappeda Kulon Progo, PU Gunung Kidul, Bappeda Kulon Progo, Bappeda Kab. Kediri, Konsultan Sarana Budi, Bappeda Yogyakarta, Kimpraswil D I Yogya, Kimpraswil Kota Yogyakarta, mengidentifikasikan beberapa permasalahan  (Isue Mapping) penyelenggaraan tata ruang antara lain:

  1. Kemampuan SDM: Aparat, T. Ahli dan Masyarakat (stakeholder)
  2. Panduan/Peraturan: belum memadai dan belum tersosialisasikan
  3. Ketersediaan data: belum memadai
  4. Kelembagaan: koordinasi horisontal dan sinkronisasi vertikal, Birokrasi
  5. Intervensi: Kekuatan pasar dan politik
  6. Konflik Pertanahan: Administrasi
  7. Partisipasi Masyarakat: sulit
  8. Konsultan : pemilihan tenaga ahli

2.4. Proses Penyusunan dan Pelaksanaan FGD (+ Capacity Building)

Pendekatan partisipasi menurut FAO (1989) menafsirkan akan adanya kontribusi sukarela dari masyarakat dan aparat kepada proyek, meningkatkan kemauan untuk menerima dan kemampuan menanggapi proyek. Pendekatan ini harus dimulai dengan orang yang paling mengerti tentang sistem kehidupan (aparat daerah dan masyarakat). Pendekatan ini juga harus dimulai dengan menilai dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka dan memberikan sarana yang diperlukan (bantek) supaya aparatur didaerah dapat mengembangkan diri, membangun diri serta menata lingkungannya sendiri.

Dari kasus empiri, s ecara tahapan pelaporan penyusunan RTRW Kab. Kulon Progo tidak berbeda dengan proyek-proyek lainnya, yang terdiri laporan pendahuluan, fakta analisa dan rencana. Hal yang membedakan dalam penyusunan adalah prosesnya, karena dalam proses penyusunan tim teknis yang terdiri dari 45 SKPD, dilibatkan langsung dalam analisis melalui FGD. Pelibatan ini tidak hanya dalam penggalian potensi dan masalah tapi juga dalam proses perencanaan, termasuk didalamnya  ada tranfer pengetahuan. Kronologis kegiatan secara detail dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel II. Tahap Kegiatan Penyusunan RTRW Kab. Kulonprogo

Tahun Anggaran 2008

Tanggal Kegiatan Tempat
18 April 2008 Konsultasi dengan tim teknis pusat Jakarta
8 Mei 2008 Konsultasi dengan tim teknis pusat Jakarta
15 Mei 2008 Konsultasi dengan Bappeda KP Ruang Rapat Bappeda KP
16 – 18 Mei 2008 Penyusunan Lap. Pend. Kantor Konsultan
19 Mei 2008 Kick Off di Provinsi DIY Ruang Rapat Dinas Kimpraswil DIY
24 Mei 2008 Pembahasan Lap. Pend. Di Kab. KP dengan tim teknis daerah Gedung Kaca Kab. KP
02 Juni 2008 Rapat internal persiapan survei data sekunder Kantor Konsultan
3 – 4 Juni Survei Instansional Ke Provinsi Dinas Tata Ruang Provinsi, PSDA Prov, POO, BPS Prov
5-6 Juni 2008 Survei data sekunder/instansional Kab. KP
11 Juni 2008 Audensi dengan Bupati + Survei waduk sermo Ruang rapat bupati KP
18 Juni 2008 Rapat internal membahas draft jadwal pembahasan analisis RTRW dengan tim teknis KP Kantor konsultan
21 Juni 2008 Koordinasi dengan Bappeda Kulon Progo tentang rencana penjaringan potensi dan masalah dengan tim teknis Kantor Bappeda Kabupaten Kulonprogo
26 Juni 2008 Koordinasi dengan tim teknis pusat, penjelasan penyusunan RTRW Kantor Konsultan
04 Juli 2008 Rapat internal untuk rencana pembahasan analisis RTRW dengan tim teknis KP Kantor Konsultan
08 Juli 2008 FGD Kajian Kebijakan Bappeda Kab. KP
18 Juli 2008 FGD Kependudukan Bappeda Kab. KP
19 Juli 2008 FGD Perekonomian Bappeda Kab. KP
26 Juli 2008 FGD Fisik Dasar dan Pola Ruang Bappeda Kab. KP
2 Agustus 2008 FGD Struktur ruang dan pembiayaan Bappeda Kab. KP
8 Agustus 2008 Konsultasi dengan tim teknis pusat Jakarta
12 – 14 Agustus 2008 Survei data sekunder kekuarangan data pada saat FGD Kabupaten KP
15,16,18 Agustus 2008 Finalisasi draft laporan antara Kantor Konsultan
19 Agustus 2008 Distribusi Lapotan Antara Kabupaten KP
20-21 Agustus 2008 Pelatihan penataan ruang di provinsi DIY (Transfer of Knowledge) Provinsi DIY
22 Agustus 2008 Survei Instansional Kantor Pedal, Dinas Perindagkoptam, BPKD, Bappeda, Dinas Pertanian.
22 Agustus 2008 Sidang Laporan Antara dengan tim teknis pusat dan daerah Kabupaten KP
13 September 2008 Sidang Laporan Antara dengan Tim Teknis Daerah Kabupaten KP
18 September 2008 Sidang Laporan Antara dengan Tim Teknis Pusat Jakarta
22 Oktober Sinkronisasi RTRW Provinsi Yogyakarta
11-12 Nov FGD Lap Akhir Kabupaten KP
13 Nov Pemb. Lap Akhir JKT Jakarta
6 des Pemb Lap Akhir KP Kabupaten KP
10 Des Lokakarya Kabupaten KP

PT. Sarana Budi Prakarsa Ripta, 2008

FGD dan transfer pengetahuan ini berlangsung dalam beberapa tahap, yang dilakukan mulai tangga 8 Juli sampai 2 Agustus. Kegiatan ini juga melibatkan beberapa instansi dari Propinsi DIY dan dari Pusat. Belibatan ini dimaksudkan untuk singkronisasi, membuka wawasan peserta dan juga meredam keinginan yang irasional dalam penyusunan tata ruang  serta penjelasan kewenangan pusat dan daerah yang belum banyak dipahami.

Proses GFD dan transfer pengetahuan ini secara garis besar di bagi dalam beberapa tahap yaitu:

  1. FGD kajian kebijakan;
  2. FGD Kependudukan;
  3. FGD perekonomian
  4. FGD Fisik dasar dan Pola Ruang
  5. FGD Struktur Ruang dan pembiayaan Pembangunan (ada 2 kelas terpisah);
Gambar 10. Suasana FGD Mulai dari Penentuan Kebutudan Data Sampai Analisis (Sumber: Doc. Pribadi, 2008)

Diantara beberapa FGD tersebut, FGD kependudukan, Fisik Dasar dan Penentuan Struktur merupakan FGD yang paling berat. Hal ini dikarenakan kekurang pahaman peserta terhadap materi dan ketidaksiapan mereka menerima kondisi dasar/nyata bahwa di wilayah mereka ada limitasi yang cukup besar untuk mengembangakan wilayah. Sehingga tim Ahli memutuskan perlu membuka wawasan dan mencermati konsisi dan limitasi wilayah (ruang, SDA dan Lingkungan serta mengajarkan langkah demi langkah proses analisis sampai memilih alternative terbaik. Perbedaan latar belakang pendidikan dan pengetahuan peserta terhadap topik/tema yang di paparkan menjadi kendala utama disamping pengetahuan peserta terhadap wilayah (kebanyakan anggota tim teknis) berasal dari luar kabupaten kulonprogo, mereka juga belum mengenal wilayahnya.

Rendahnya pemahaman terhadap wilayah juga membawa dampak pada proses penentuan dan pemilihan alternattif struktur ruang. Hampir semua tim teknis meminta pusat-pusat pelayanan memiliki orde yang tinggi, sehingga akan memunculkan berbagai program percepatan pembangunan wilayah, dan ini tidak diimbangi dengan upaya mengoptimumkan wilayah perencanaan (pertimbangan limitasi dan mitigasi bencana tidak begitu di pikirkan).

Dengan kondisi di atas pada tiap pertemuan dengan tim teknis, tim ahli memutuskan untuk terus melakukan transfer pengetahuan, untuk membuka wawasan. Hal ini merupakan proses yang tidak gampang, karena tiap proses/tahapan tim ahli harus mengingatkan potensi, masalah, peluang, dampak dan gangguan yang mungkin terjadi.

III. Kesimpulan dan Rekomenasi

Hal yang dapat disimpulakan dari kasus empiri  atas adalah:

  1. Metode perencanaan dengan mengedepankan masyarakat sebagai subyek perencanaan tidak dapat diterapkan secara langsung, tetapi harus disertai dengan tranfer pengetahuan;
  2. Pemahaman yang baik tentang kondisi dasar (ruang, SDA dan Lingkungan) dapat menjadi factor penimbang untuk mengurangi daftar keinginan dalam perencanaan ruang wilayah.

Hal yang perlu direkomendasikan dalam kasus ini hádala penting kiranya pelaku yang terlibat dalam peyusunan tata ruang, lebih arif dalam menadaptasikan metode perencanaan yang diterapkan, mengingat latar belakang/kondisi kita berbeda dengan tempat dimana teori-teori perencanaan itu dilahirkan.

Daftar Pustaka.

Anderson LT. 1995. Guideline for Preparing Urban Planning. Planner Press. Chicago US.

Chapin, S, Jr Kaeiser, EJ.1979. Urban and Land Use Planning. University of Illinois Press. Chicago.

Baiquni, M. dan Susilawardani. 2002. Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. ideAs dan TransMedia Global

Erna Witoelar, 2001. Forum Nasional Tata Ruang: Tata Ruang Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Perbedaan Paradigma Tata Ruang Dalam Era Sentralistik Dan Dalam Era Otonomi Daerah)

Baiquni, M & R. Rijanta, Konflik Pengelolaan Lingkungan dan SumberdayaDalam Era Otonomi Dan Transisi Masyarakat Wacana. Yogya

Mitchel, B., Setiawan, B., dan Rahmi, D.H., 2000, “Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan”. Gama Univ. Press, Yogyakarta.

Wahap, S.A., 1997, “Analisis kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Anggaran”, Bumi Aksara, Jakarta.

About Jamilla Kautsary

Aku ada karena kamu
This entry was posted in Kawasan. Bookmark the permalink.

2 Responses to RUANG, SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEBAGAI PEMBATAS DAFTAR PERMINTAAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PRODUK PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH DI ERA OTONOMI (Studi Kasus Penyusunan RTRW Kabupaten Kulonprogo)

  1. Kathy says:

    I appгeciate,result іn I found exactly wɦаt I was һaving
    a loоk for. Yoᥙ’ve ended myy 4 dаy long hunt! God Bless
    ʏou man. Нave a great daʏ. Bye

    Like

  2. Villalta says:

    Woah! I’m truly taking pleasure in the actual template/theme with this site. It’s uncomplicated, but powerful. A lot of times it’s very difficult to get of which “perfect balance” involving excellent excellent in addition to looks. I need to say you’ve completed a good employment with this particular.

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.